Dalam UU. No tahun 1989
tentang sistem pendidikan nasional, disebutkan mengenai tujuan pendidikan
nasional, yakni :
“Pendidikan Nasional
bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang beriman
dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur,memiliki
pengetahuan, keterampilan,kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian yang
mantap dan mendiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”[1]
Tujuan
tersebut dapat terlaksana atau tercapai apabila pendidikan agama Islam yang
diberikan di sekolah dapat diserap dengan baik oleh seluruh anak didik. Namun
dengan tersedianya alokasi waktu yang sangat sedikit dan sangat terbatas untuk
pengajaran pendidikan agama Islam disekolah tentunya terbetik dalam hati kita
“Apakah dengan alokasi waktu yang sedikit itu, tujuan pendidikan nasional
terebut dapat dicapai secara maksimal.” Melihat kenyataan ini, pemerintah
hendaknya lebih serius dalam menyediakan alokasi waktu untuk pengajaran
pendidikan agama Islam, pendidikan agama jangan hanya dijadikan alat pelengkap
dari pelajaran umum saja, melainkan harus dijadikan pelajaran pokok yang sama
pentingnya dengan pelajaran umum lainnya.
Namun
sebelum adanya perubahan alokasi waktu yang lebih selaras dengan tujuan
pendidikan nasional diatas, maka para kepala sekolah di Indonesia telah
berupaya mengejar ketertinggalannya dalam hal penanaman pemahaman agama kepada
anak didiknya, dengan cara memasukkan materi pendidikan agama dalam kegiatan
ekstrakurikuler di sekolah. Kegiatan ini sungguh sangat berharga bagi
perkembangan pribadi anak, utamanya dalam mengadakan interaksi dengan
lingkungan sebagai bagian dalam mengabdikan dirinya kepada Tuhan.
Mengabdikan
diri kepada Tuhan tidak hanya dapat dilaksanakan melalui kegiatan keagamaan saja
seperti amal ibadah sholat saja, melainkan dapat juga dilakukan dengan
memelihara hubungan baik diantara sesama manusia. Dan dalam kegiatan
ekstrakurikuler ini anak dapat dibiasakan untuk berlaku adil, dibiasakan
mengerti hak dan kewajiban orang lain, dibiasakan berlaku sopan santun dengan
sesamanya, utamanya kepada yang lebih tua serta belajar menghormati kepada yang
lebih muda. Kebiasaan-kebiasaan ini akan banyak mempengaruhi sikap sosial anak
ketika kelak sudah dewasa. Semakin banyak anak mendapat latihan-latihan berbuat
baik pada waktu kecil, sewaktu dewasanya nantinya akan menjadi bagian dari
pribadinya.
[1] UU RI No. 2 Tahun.
1989. Tentang Sisdiknas, (Jakarta: Intan Periwara, 1989), hal. 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar